Menuju Cakrawala Tanpa Bintang: Gerakan Literasi antara Mimpi Emansipasi dan Kamuflase Oligarki



Gerakan Literasi dan Potensi Emansipasi

Literasi, dalam pemaknaannya yang lebih dalam, bukan sekadar keterampilan teknis membaca dan menulis. Ia adalah instrumen kultural dan politik yang membentuk kesadaran, membangun kapasitas berpikir kritis, serta menghubungkan individu dengan ruang-ruang sosial yang lebih luas. Praktik literasi selalu terkait erat dengan produksi dan distribusi makna, sehingga siapa yang menguasai literasi, sejatinya juga menguasai sarana untuk mempengaruhi kehidupan sosial. Karena itu, gerakan literasi tidak bisa dilepaskan dari proyek emansipasi masyarakat — sebuah upaya membebaskan individu dari belenggu ketidaktahuan, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan sosial.

Namun, harapan besar terhadap literasi ini, setidaknya dalam pengamatan saya, justru menghadapi ancaman serius dalam bentuk yang lebih subtil: personalisasi gerakan literasi. Ketika figur-figur tertentu mulai diasosiasikan secara eksklusif dengan semangat literasi, terdapat risiko bahwa gerakan tersebut menyempit menjadi sebatas perayaan individu, bukan gerak kolektif. Proses ini, meski tampak membangkitkan inspirasi di permukaan, pada hakikatnya melemahkan fondasi emansipatoris literasi. Publik lebih mengenal tokoh dibanding memahami praksis literasi itu sendiri, dan literasi berubah menjadi ajang perayaan simbolik ketimbang kerja sosial yang transformatif.

Dalam konteks inilah, kita perlu mengkaji ulang arah gerakan literasi kontemporer. Apakah literasi masih menjadi jalan menuju pembebasan dan kesetaraan, ataukah malah menjadi instrumen baru dari oligarki sosial yang lebih halus? Pertanyaan ini penting diajukan agar gerakan literasi tidak terseret ke dalam arus reproduksi ketimpangan baru, di mana hanya segelintir suara yang dianggap valid sementara beragam ekspresi lain tersisihkan.

 

Gerakan Literasi di Tengah Personalisasi dan Hegemoni

A.     Bahaya Kultus Figur

Fenomena kultus figur dalam gerakan literasi muncul dari kebutuhan manusia untuk menyederhanakan kompleksitas perubahan sosial ke dalam simbol-simbol yang mudah dikenali. Sayangnya, dalam literasi, kecenderungan ini berbahaya. Ketika satu-dua individu diposisikan sebagai wajah gerakan literasi nasional, maka keragaman praktik dan konteks lokal terabaikan. Literasi yang sejatinya beraneka rupa — dari tradisi lisan, aksara lokal, hingga inovasi komunitas marjinal — menjadi tereduksi ke dalam format narasi dominan yang berpusat pada figur tersebut.

Dampak dari proses ini terasa pada semakin invisibelnya komunitas-komunitas literasi kecil yang tidak memiliki akses terhadap media, jejaring kekuasaan, atau modal simbolik. Literasi daerah, misalnya, yang mempertahankan bahasa ibu, cerita rakyat, atau praktik membaca komunitatif, kalah visibilitas dibanding literasi yang diasosiasikan dengan citra figur-figur populer. Akibatnya, gerakan literasi kehilangan kompleksitas sosial-budaya yang menjadi kekuatannya, dan justru menjadi monokultur yang rapuh.

Lebih dari itu, ketika gerakan literasi melekat terlalu kuat pada satu figur, keberlanjutannya menjadi sangat bergantung pada keberadaan individu tersebut. Jika figur itu hilang, tersingkir, atau kehilangan kepercayaan publik, seluruh gerakan ikut goyah. Ini menunjukkan betapa berbahayanya membangun gerakan berbasis kultus individu, dibandingkan membangun basis partisipasi komunitas yang luas, beragam, dan resilien.

 

B.      Dampak Bertingkat

Dalam jangka pendek, personalisasi gerakan literasi menghasilkan distorsi dalam distribusi perhatian dan sumber daya. Proyek-proyek literasi komunitas yang inovatif, namun tidak berafiliasi dengan figur-figur dominan, seringkali mengalami marginalisasi. Ini membuat ruang inovasi menjadi sempit, dan wacana literasi nasional menjadi monoton, berputar pada tema, metode, dan gaya tertentu yang diasosiasikan dengan tokoh yang tengah populer.

Dampak jangka menengahnya adalah menguatnya komersialisasi gerakan literasi. Literasi tidak lagi dilihat sebagai praktik sosial kritis, melainkan sebagai komoditas untuk promosi pribadi, branding, atau penggalangan dana berbasis event-event simbolik. Aktivitas literasi bergeser dari kerja sunyi transformasi komunitas ke acara seremonial yang sekadar menggugurkan kewajiban atau membangun citra sosial tertentu. Ketulusan gerakan mulai terkikis oleh logika kapitalisme simbolik.

Dalam jangka panjang, risiko terbesar adalah polarisasi gerakan literasi. Ketika basis akar rumput merasa diabaikan atau dimarjinalkan, mereka mungkin membangun gerakan tandingan atau mengadopsi sikap apatis. Ini melemahkan solidaritas kolektif dan menciptakan fragmentasi internal yang membuat gerakan literasi rentan terhadap manipulasi politik atau ekonomi. Literasi, yang semestinya menjadi ruang untuk memperluas demokrasi, justru berbalik menjadi arena pertarungan simbolik antar elite dan komunitas.

 

Tantangan dan Harapan Menuju Gerakan Literasi Kolektif

A.     Tantangan Utama

Di masa depan, tantangan terbesar gerakan literasi adalah membebaskan diri dari logika personalisasi dan komodifikasi. Literasi harus kembali pada nilai dasarnya: membangun subjek yang otonom, kritis, dan sadar kolektivitas. Ini berarti menolak kecenderungan untuk memusatkan gerakan pada figur-figur populer, serta melawan upaya komersialisasi yang mengubah literasi menjadi sekadar alat untuk pencitraan sosial.

Tantangan ini tidak kecil. Budaya politik dan sosial kita masih sangat kuat dalam mengidolakan individu. Dalam ruang publik yang dikuasai media sosial, figur-figur yang menarik perhatian publik lebih cepat mendapatkan legitimasi, terlepas dari konsistensi kerja nyata mereka di lapangan. Oleh karena itu, upaya membangun basis gerakan literasi yang berbasis komunitas harus dilakukan dengan sabar, tekun, dan sadar akan pentingnya memperluas basis representasi.

Gerakan literasi yang sehat harus membangun kesadaran bahwa kekuatan sejatinya terletak pada pluralitas, bukan homogenitas; pada kolektivitas, bukan personalisasi; pada kerja sunyi yang melahirkan perubahan jangka panjang, bukan pada pencapaian instan berbasis popularitas semata.

 

B.      Strategi Menuju "Cakrawala Tanpa Bintang"

Strategi pertama yang bisa kita lakukan adalah membangun narasi kolektif. Setiap komunitas literasi harus diberi ruang untuk menyuarakan pengalamannya sendiri, tanpa harus tunduk pada format dominan. Literasi lokal, literasi berbasis budaya daerah, literasi gender, literasi lingkungan — semua harus mendapat tempat yang setara dalam wacana nasional. Bukan sekadar diakui secara simbolik, tetapi benar-benar diberi panggung untuk tumbuh.

Kedua, memberdayakan jejaring komunitas kecil. Ini berarti mengalokasikan sumber daya, perhatian, dan dukungan kepada taman bacaan masyarakat, komunitas belajar adat, kelompok literasi perempuan, dan semua inisiatif literasi berbasis komunitas. Pendekatan ini memperluas basis gerakan, membuatnya lebih resilien terhadap perubahan politik, sosial, dan ekonomi.

Ketiga, mempraktikkan literasi reflektif. Literasi bukan hanya membaca dan menulis, tetapi juga refleksi atas praktik itu sendiri: mengkritisi ketimpangan, mempertanyakan narasi dominan, mendokumentasikan keberagaman. Literasi reflektif memungkinkan gerakan ini terus berkembang, tidak terjebak dalam stagnasi, dan mampu mengadaptasi tantangan baru tanpa kehilangan spirit kritisnya.

 

Literasi sebagai Emansipasi Sejati

Menuju cakrawala tanpa bintang adalah tentang menolak godaan untuk mempersonalisasi gerakan, tentang menolak membuat literasi menjadi panggung selebritas. Ini adalah perjuangan membangun langit luas yang penuh dengan bintang kecil: taman bacaan kecil di desa terpencil, komunitas perempuan yang membangun ruang baca sendiri, anak-anak muda yang menulis dalam bahasa ibu mereka.

Literasi sejati adalah kerja kolektif yang membebaskan, bukan komoditas untuk meningkatkan status sosial atau mengukuhkan kekuasaan simbolik. Ia adalah medan perlawanan terhadap ketimpangan pengetahuan, melawan dominasi narasi tunggal, dan merayakan keberagaman cara memahami dunia.

Dalam dunia yang semakin haus akan popularitas, memilih menjadi bagian dari gerakan literasi yang sunyi, reflektif, dan kolektif adalah pilihan radikal. Menuju cakrawala tanpa bintang, kita memilih untuk tidak bersinar sendiri, tetapi bersama-sama menerangi jalan panjang emansipasi, di tengah segala tantangan dan ketidakpastian.

 

Aris Munandar. Founder Rumah Matahari Pagi, edukator, homeschooling activist, literacy coach, dan penulis.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.