Dari I Think, Therefore I Am ke I Selfie, Therefore I Am



Filsafat Barat pernah diubah secara mendasar oleh René Descartes melalui ungkapannya yang terkenal, "Cogito, ergo sum" atau "I think, therefore I am." Descartes menempatkan pemikiran sebagai dasar eksistensi manusia, menekankan pentingnya ide dan gagasan sebagai pusat keberadaan. Namun, dalam era digital yang didominasi oleh media sosial, ungkapan ini tampaknya mengalami metamorfosis menjadi "I selfie, therefore I am," sebuah frase yang diperkenalkan oleh Sherry Turkle. Ungkapan ini mencerminkan pergeseran fokus dari ide dan pemikiran menuju diri, egoisme, dan narsisme.

Descartes, seorang filsuf Prancis abad ke-17, memperkenalkan pendekatan yang sangat revolusioner terhadap pemahaman diri dan eksistensi. Dalam karyanya, Meditations on First Philosophy, Descartes mencoba meragukan segala sesuatu yang bisa diragukan untuk menemukan dasar yang tak terbantahkan dari pengetahuan. Dalam proses ini, ia menemukan bahwa meskipun semua bisa diragukan, fakta bahwa ia meragukan menunjukkan bahwa ia berpikir. Dan jika ia berpikir, ia ada. "Cogito, ergo sum" menjadi fondasi bagi epistemologi Barat, menempatkan pikiran dan gagasan sebagai inti dari eksistensi manusia.

Namun, dengan kemajuan teknologi dan munculnya media sosial, paradigma ini mulai bergeser. Sherry Turkle, seorang profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan penulis buku Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other, meneliti bagaimana teknologi mempengaruhi hubungan sosial dan pemahaman diri kita. Ungkapan "I selfie, therefore I am" menggambarkan bagaimana identitas kita semakin dibentuk oleh cara kita menampilkan diri di media sosial. Foto-foto selfie, postingan, dan jumlah like menjadi indikator eksistensi dan nilai diri.

Dalam konteks ini, gagasan Descartes tentang pemikiran sebagai inti dari keberadaan manusia digantikan oleh fokus pada diri dan penampilan. Selfie bukan hanya gambar, tetapi representasi digital dari diri kita yang sering kali dipoles dan diatur sedemikian rupa untuk mendapatkan pengakuan dan validasi dari orang lain. Ini menciptakan budaya narsisme di mana nilai diri diukur berdasarkan penampilan dan popularitas di dunia maya.

Media sosial mendorong kita untuk terus-menerus mempromosikan diri, memperlihatkan momen-momen terbaik, dan menghindari aspek-aspek yang kurang menyenangkan dari kehidupan kita. Ini mengarah pada kehidupan yang superfisial dan kurang otentik, di mana keaslian sering kali dikorbankan demi citra yang sempurna.

Pergeseran ini memiliki dampak besar terhadap cara kita berinteraksi dengan orang lain dan memahami diri kita sendiri. Fokus pada diri dan narsisme dapat mengurangi empati dan kemampuan untuk menjalin hubungan yang mendalam. Kita menjadi lebih terobsesi dengan bagaimana kita terlihat daripada bagaimana kita benar-benar merasa atau bagaimana orang lain merasa.

Selain itu, ketergantungan pada validasi eksternal melalui like dan komentar dapat mempengaruhi kesehatan mental, meningkatkan kecemasan, dan mengurangi rasa percaya diri. Kita menjadi semakin terisolasi dalam dunia yang paradoksnya dirancang untuk menghubungkan kita satu sama lain.

Perubahan dari "I think, therefore I am" ke "I selfie, therefore I am" mencerminkan pergeseran mendalam dalam pemahaman kita tentang identitas dan keberadaan. Dari fokus pada pemikiran dan gagasan, kita bergerak menuju era di mana diri, egoisme, dan narsisme menjadi pusat perhatian. Dalam menghadapi era digital ini, penting untuk menemukan keseimbangan antara representasi diri di media sosial dan pemahaman yang mendalam tentang diri kita yang sebenarnya, menjaga nilai-nilai autentisitas, empati, dan hubungan yang berarti.

 

Aris Munandar, founder Rumah Matahari Pagi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.