Menemukan Puisi dan Soe Hok Gie di Prawira



HARI-HARI PRAWIRA

Nyiur melambaikan tangan
Meniupkan pasir sebagai harapan

Semburat fajar di pipimu
Merona memerahi waktu

Seperti cinta di sepanjang lorong kenangan
Ditumbuhkan buliran embun menjadi kuncup-kuncup semi

Engkaulah bidadariku...
Menjadikan surga pada tiap jejaknya.

(Klub Baca Buku Perempuan Lombok Utara, Residensi Penggiat Literasi 2019)

 

Prawira adalah nama suatu dusun di Lombok Utara. Dahulu merupakan bagian dari Kerajaan Sokong. Konon, Prawira merupakan sebuah kepatihan. Jiwa keperwiraan tersebut masih jelas terlihat ketika saya mengunjungi Klub Baca Perempuan di tahun 2019 silam. Perjuangan untuk bangkit kembali pasca dilanda gempa merupakan bukti nyata dari hal tersebut.

Klub Baca Perempuan merupakan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang digagas oleh Nursyda Syam dan kawan-kawan. Manifestasi dari gugusan mimpi, komitmen, konsistensi, adaptasi, dan kerja keras. Bukan sebuah kebetulan, ketika saya berkeliling, menemukan papan berisi kutipan bergambar siluet Soe Hok Gie. Kutipan tersebut sangat terkenal, berbunyi: “Lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan.”

Kata-kata yang dilontarkan Soe Hok Gie menunjukan keberanian dan keteguhan terhadap nilai yang diyakini. Sebuah sikap yang tidak mudah untuk melawan hegemoni. Mungkin banyak yang memiliki perasaan yang sama, tetapi tidak banyak yang berani bersikap.

Pernyataan sikap bisa kita sampaikan melalui berbagai cara. Salah satunya bisa menggunakan medium bahasa, seperti puisi. Puisi sebagai bagian dari institusi sosial juga bisa menyuarakan sikap terhadap suatu kondisi masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh W.S. Rendra pada sajaknya berjudul “Sajak Sebatang Lisang” berikut: ... Aku bertanya/ tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon/ yang bersajak tentang anggur dan rembulan/ sementara ketidakadilan terjadi disampingnya/ dan dalapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian//

Sikap juga perlu diambil terhadap realitas literasi kita saat ini. Seperti apa literasi kita saat ini? Sebagai gambaran, kita bisa simak hasil The Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Tahun 2000, ketika pertama kali ikut, skor membaca kita di angka 371. Pada pengukuran terakhir, di tahun 2022, skor membaca kita di angka 359. Selama 22 tahun ini, literasi kita tidak beranjak kemana-mana. Bahkan menurun.

Realitas ini seperti mengamini apa yang disampaikan oleh Ignas Kleden (Alibaca, 2019), Indonesia gagal mentransformasikan masyarakat “melek huruf” menjadi masyarakat yang memiliki budaya baca (reading society). Kegagalan ini disebabkan oleh minimnya akses terhadap bahan bacaan dan belum menjadikan membaca sebagai kebiasaan (reading habit). Pertanyaan berikutnya, kenapa sampai gagal?

Sebenarnya sangat ironis, karena literasi dalam dekade belakangan ini sudah menjadi suatu tren. Menciptakan euforia dan keriuhan. Di tengah hiruk pikuk tersebut, sayangnya masih bersifat sporadis, parsial, dan cenderung mengkultuskan pada figur. Bertolak belakang dengan istilah yang digaungkannya, yaitu gerakan literasi. Sebagai gerakan, bukankah literasi sebaiknya digiatkan secara sinergis antara para pemangku kepentingan? Sebagai gerakan, bukankah dalam literasi sebaiknya terjadi pelibatan ekosistem yang ada di dalamnya. Pelibatan ini bukan hanya pada hasil akhir saja, tapi diperlukan mulai dari perumusan konsep, penyusunan rencana strategis, penyediaan materi pendukung, hingga kampanye itu sendiri. Ini dimaksudkan agar kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Pertanyaan berikutnya: apakah kebijakan induk dari literasi sudah ada?

 

Aris Munandar, founder Rumah Matahari Pagi. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.