Duta Baca Sepanjang Masa (Catatan Pertama tentang Duta Baca)


 

Iqra` bismi rabbikallażī khalaq.

Khalaqal-insāna min 'alaq.

Iqra` wa rabbukal-akram.

Allażī 'allama bil-qalam.

'Allamal-insāna mā lam ya'lam.

Setelah lebih dari 2 bulan berlalu, sejak tulisan pertama berjudul “Literasi Sehari-hari di Stasiun Pasar Senen”, saya belum berhasil menghasilkan tulisan berikutnya. Tulisan pertama dihasilkan karena kebosanan menunggu keberangkatan kereta menuju Jombang. Saat itu, saya mulai menulis pukul 13.00 WIB, selepas makan siang. Kereta sendiri dijadwalkan berangkat pukul 17.05 WIB. Kini, menjelang Ramadan, niat untuk melanjutkan tulisan Literasi Sehari-hari terbit kembali. Niat yang didorong oleh rencana menjadikan membaca sebagai aktivitas pengisi Ramadan ini. Daftar Bacaan sudah disusun, terdiri dari 3 jilid buku Nusa Jawa-nya Dennys Lombard dan 1 buku Alm. Ajip Rosidi, yaitu Manusia Sunda.

Literasi Sehari-hari sendiri diniatkan sebagai tulisan ringan mengenai literasi. Sejenis catatan yang membahas kejadian keseharian, tanpa bermaksud menggurui atau sok asyik. Hanya untuk meng-capture dialog dengan diri sendiri. Dialog yang terjadi di kepala. Kenapa tentang Duta Baca? Minggu ini saya di-tag di instragram oleh 2 orang finalis Duta Baca Kota Sukabumi tahun 2024. Bukan tanpa alasan, karena saya adalah salah satu jurinya. Tahun sebelumnya juga.

Sebenarnya saya sudah memberikan catatan kecil tentang poin apa saja yang harus diperkuat oleh para finalis. Catatan tersebut saya buat saat fase penjurian terakhir dan diserahkan kepada salah satu juri, yang juga Ketua Paguyuban Duta Baca Kota Sukabumi, Miladia Syihab. Namun karena di-tag tadi, saya merasa perlu menuliskan catatan yang lebih utuh dari catatan sebelumnya. Catatan sebelumnya lebih berupa poin-poin saja.

Pertanyaanya menjadi: untuk apa saya perlu menuliskan catatan, baik yang sebelumnya dan yang sekarang ini? Ada 2 alasan utama, yaitu: (1) saya berpikir jika literasi dan duta baca ini sebagai persoalan substansial; (2) saya maksudkan tulisan ini menjadi suara zaman dimana saya hidup dan menjalaninya. Bukan untuk menggurui. Tidak juga mewakili. Tetapi saya berhak bersuara. Seperti ketika saya menerima tawaran untuk menjadi juri Duta Bahasa Kota Sukabumi, baik tahun lalu maupun tahun ini. Satu-satunya alasan adalah keterpanggilan.

Kenapa terpanggil? Saya merasa berhutang banyak pada Kota Sukabumi. Memori masa kecil saya dipenuhi kegembiraan di sini. Ada memori tentang Toko Seribu, tempat saya dibelikan mainan oleh bapak dan ibu. Bioskop Indra hingga bioskop Capitol yang memperkenalkan saya pada film-film Warkop, Rambo, dan lainnya. Hingga Rumah Sakit Bunut tempat saya sering dirawat karena waktu kecil sakit-sakitan. Masa-masa yang membentuk saya menjadi seperti sekarang.

Bukan kali pertama memberikan catatan. Sebut saja catatan yang saya beri judul “Salam Literasi dari Sukabumi,” pada intinya berisi mengenai perlunya penguatan kapasitas untuk para pegiat literasi. Ada lagi catatan dengan judul “Kota yang Dihidupkan Gagasan,” berisi perlunya memberi konteks pada literasi. Termasuk tulisan ini.

Meskipun catatan-catatan itu akan cenderung menimbulkan salah paham. Itu akan terjadi jika catatan-catatannya dibaca menggunakan kacamata yang melihat literasi sebatas kegiatan belaka. Melihatnya sebagai peristiwa pun tidak. Padahal, setidaknya, berbicara literasi itu kita membahas 2 aspek. Pertama, aspek proses berpikir. Kedua, aspek kemampuan berbahasa. Jadi, saya akan terus membuat catatan untuk memanifestasikan pemikiran-pemikiran dalam bentuk tulisan.

Momentum menjelang Ramadan dan literasi (Duta Baca) kini bertemu irisannya. Wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah, melalui malaikat Jibril, kepada Nabi Muhammad adalah perintah membaca. Wahyu tersebut turun pada tanggal 17 Ramadan. Dengan membaca kita bisa memfungsikan akal untuk berpikir. Lalu, Dimana letak kemampuan berbahasanya? Bukankah menulis dan membaca merupakan 2 diantara 4 kemampuan berbahasa. 2 lainnya, yaitu: menyimak dan berbicara.

Kok sudah pada akhirnya lagi? Siapa duta baca sepanjang masa itu? Jika dibaca secara saksama dan tanpa diburu-buru oleh tempo, pasti akan paham siapa sosok yang dimaksud. Bagaimana caranya supaya bisa mengikuti jejak sosok yang dimaksud? Sabar, nanti saya sampaikan dalam catatan. Terus, mana catatannya? Ada pada tulisan berikutnya. Ini hanyalah pengantar menuju pintu gerbang catatan yang dimaksud. Artinya Literasi Sehari-hari yang membahas mengenai Duta Baca ini akan menjadi seri tulisan tersendiri. Akan ada berapa tulisan? Tidak tahu. Setidaknya meliputi pembahasan: (1) why literacy matters? (2) anatomi literasi; (3) penyusunan program, mulai dari perumusan masalah dan alat bantunya, memformulasikan solusi hingga menjadi program yang ditawarkan, hingga mengukur capaian berikut alat ukurnya; serta (4) hal-hal yang ditemukan kemudian bila dianggap perlu pembahasan secara khusus.

Saya ulangi lagi. Dengan membaca kita memfungsikan akal untuk berpikir. Menulis, menurut Gol A Gong yang Duta Baca Indonesia itu, sama dengan membaca 2 kali. Membaca tidak bertujuan supaya kita menjadi pintar. Sepertihalnya iqra’ yang menandai tugas kenabian Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Bukankah jihadil akbar itu adalah jihadun nafsi?

 

Aris Munandar, founder Rumah Matahari Pagi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.