Bukan Peniru
Seorang anak berusia dua tahunan membawa laptop dan
meletakannya di atas meja kecil. Ia duduk dikursinya. Laptop dibuka. Anak itu
menggumamkan sesuatu, kemudian memijit tombol-tombol di keyboard.
Dikepalkan tangannya, diangkat ke atas, kemudian berteriak: “yes!”.
Iya, anak itu Tabi. Lengkapnya Mahesa Tangkas Wibisana. Ia sedang memainkan peran seorang yang sedang bekerja. Tabi tidak sedang meniru orang yang bekerja. Ia bukan seorang peniru. Tidak dididik dan diasuh untuk menjadi seorang peniru. Lalu, dibesarkan dengan pendidikan dan pengasuhan yang seperti apa?
Sebelumnya saya ingin menjelaskan dulu apa itu peniru dan apa meniru. Tentu saja peniru adalah sebutan untuk seorang yang meniru. Meniru adalah proses menghasilkan ulang sesuatu yang sudah ada, baik secara fisik maupun non-fisik. Dalam proses meniru, seseorang berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang sama persis atau mirip dengan yang sudah ada. Tujuan meniru mungkin bersifat reproduktif, dengan niat untuk menghasilkan salinan yang serupa dengan aslinya. Jika bukan meniru, lalu apa yang dilakukan oleh Tabi?
Saya melihat apa yang dilakukan Tabi merupakan proses menginterpretasikan. Berbeda dengan meniru, menginterpretasikan ini membutuhkan pemahaman untuk bisa memberikan pemaknaan terhadap sesuatu, dalam hal ini aktivitas bekerja menggunakan laptop. Apa indikatornya itu menginterpretasikan, bukan meniru? Tabi mendapatkan gambaran seseorang ketika melihat saya bekerja di rumah, serta melihat ibu dan tante-tantenya bekerja ketika ia diajak ke sekolah. Meskipun alatnya sama yaitu laptop, tetapi menggunakan dan eskpresi ketika saya, ibu, atau tante-tantenya bekerja tentu berbeda. Dari beragam ekspresi yang ia amati, Tabi berhasil meramunya menjadi satu adegan saat memeragakan adegan bekerja. Indikator kuncinya ada pada saat Tabi mengepalkan tangan ke atas sambil berteriak: “yes!”. Itu original ekspresi Tabi. Kerap ia lakukan ketika berhasil melakukan atau mendapatkan sesuatu. Tabi memahami bagaimana bekerja menggunakan laptop, sehingga ia bisa menginterpretasikannya. Menginterpretasikan adalah proses memberikan makna atau arti terhadap sesuatu. Dalam proses menginterpretasikan, seseorang berusaha untuk memahami apa yang tersirat di balik suatu objek atau fenomena.
Untuk bisa menginterpretasi sesuatu, seseorang membutuhkan beberapa kemampuan dan keterampilan. Kemampuan-kemampuan berikut: berpikir kritis, memahami konteks, menggunakan pengetahuan sebelumnya (background knowledge), serta berpikir kreatif. Kemampuan berpikir kritis diperlukan untuk menganalisis dan memahami objek atau fenomena yang akan diinterpretasikan. Kemampuan memahami konteks diperlukan untuk memahami makna objek atau fenomena dalam konteks yang lebih luas. Kemampuan menggunakan pengetahuan sebelumnya diperlukan untuk menghubungkan objek atau fenomena yang akan diinterpretasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Kemampuan berpikir kreatif diperlukan untuk menghasilkan interpretasi yang baru dan inovatif.
Dengan memeragakan adegan bekerja dengan laptop, Tabi menunjukan pandangan, perspektif, dan pemaknaannya pada aktivitas bekerja. Ia tidak sedang mereproduksinya. Lebih dari itu, ia menyampaikan jika dirinya juga memiliki kesibukannya sendiri. Dengan kata lain, Tabi tidak sedang berusaha menjadi orang lain. Tabi menegaskan jika dirinya juga sama dengan orang lain. Sama seperti saya bapaknya, ibunya, dan/atau tante-tantenya yang punya kesibukan (baca: bekerja) dengan laptop.
Selanjutnya, keterampilan yang harus dimiliki untuk bisa menginterpretasikan, yaitu: keterampilan linguistik, keterampilan analisis, keterampilan menggunakan pengetahuan, dan keterampilan berkomunikasi. Ketika menginterpretasikan teks atau bahasa lisan, maka kita harus memiliki keterampilan linguistik yang baik. Keterampilan ini meliputi pemahaman terhadap tata bahasa, kosakata, dan makna kata. Begitu juga keterampilan analisis yang baik akan membantu kita memahami objek atau fenomena yang akan diinterpretasikan. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mengidentifikasi pola, membuat inferensi, dan mengevaluasi bukti. Termasuk pengetahuan yang luas tentang berbagai bidang, seperti sejarah, budaya, dan seni. Pengetahuan ini akan membantu kita untuk memahami objek atau fenomena dalam konteks yang lebih luas. Terakhir, keterampilan komunikasi yang baik dapat membuat kita bisa menyampaikan interpretasi kepada orang lain. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berbicara, menulis, dan presentasi.
Selain kemampuan dan keterampilan tersebut, untuk bisa menginterpretasikan membutuhkan pengalaman dan pelatihan yang memadai. Pengalaman dan pelatihan akan membantu kita untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menginterpretasikan objek atau fenomena dengan lebih baik. Tantangan baru mungkin muncul, termasuk kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung terjadinya pengalaman dan pelatihan. Namun, solusinya dapat ditemukan apabila kita memahami pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan kreativitas anak.
Langkah sederhana yang bisa dilakukan oleh kita sebagai orang tua, diantaranya: (1) Memberikan anak kebebasan untuk berekspresi. Jangan memaksa anak untuk menghasilkan karya yang sempurna. Biarkan ia bereksperimen dengan berbagai media dan menghasilkan karya sesuai dengan keinginannya; (2) Memberikan apresiasi terhadap kreativitas anak. Salah satu bentuk apresiasi adalah dengan memberikan pujian kepada anak atas kreativitasnya. Pujian dapat membantu anak untuk mengembangkan kepercayaan diri dan motivasinya untuk terus berkarya; (3) Menikmati prosesnya. Bermain dan bereksperimen dengan anak merupakan pengalaman yang menyenangkan. Nikmati proses kebersamaan kita bersama anak dan buatlah pengalaman tersebut menjadi momen yang berkesan. Dengan mengikuti langkah-langkah sederhana tersebut, kita sebagai orang tua dapat membantu anak untuk mengembangkan intelektualnya secara optimal.
Itulah kemampuan, keterampilan, dan langkah yang bisa dilakukan oleh orang tua agar anaknya dapat menginterpretasikan dengan baik. Untuk menjadikan anak kita sebagai peniru, kita tidak perlu melakukannya. Lebih lanjut mengenai ini akan kita bahas pada artikel berikutnya di sini.
Sebagai orang tua, tentu kita tidak akan membiarkan anak-anak kita tumbuh sebagai peniru. Kita ingin mereka mereka bisa mengaktualisasikan gagasan-gagasannya, mengekspresikan kehendaknya, menyuarakan maksud-maksudnya, memaknai hidupnya yang hanya sekali ini. Kita ingin anak-anak kita dapat menjalani kehidupannya sendiri. Itu tidak bisa dilakukan oleh seorang peniru.
Aris Munandar
Founder Matahari Pagi
Tidak ada komentar