Dalam Buaian Literasi
Sabtu, 20 Juli 2019. Saya berangkat dari Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Kediri. Untuk menemani hampir 13 jam perjalanan, saya membawa buku “Pengasuhan Literasi.” Ariful Amir dan Bude Kiswanti penyusunnya. Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian kesatu berisi surat singkat dari para ibu yang ditujukan kepada anak mereka. Bagian kedua, giliran anak-anak yang menyampaikan surat kepada ibunya. Buku ini diterbitkan tahun 2018. Kegiatan surat menyurat tadi dilakukan pada tahun 2017 di TBM Warabal Parung, Bogor. Kini, 6 tahun berlalu, saya percaya apa yang dituliskan (baik dari ibu ke anak, maupun sebaliknya dari anak ke ibu) akan tetap menjadi ikatan yang kuat jika mereka kembali melakukan napak tilas momen tersebut.
Rabu, 8 November 2023. Masih dari Stasiun Pasar Senen, kali ini Stasiun Solo Balapan yang menjadi tujuan saya. Waktu tempuhnya pasti lebih singkat, hanya sekitar 8 jam perjalanan. Sebagai teman, kali ini buku berjudul “Di Tengah Keluarga” yang saya bawa. Pustaka Jaya menerbitkannya di tahun 1956. Yang saya bawa sudah cetakan kelima tahun 2003. Menurut Rusman Sutiasumarga buku ini berisi peristiwa-peristiwa yang dialami oleh penulisnya, yaitu Ajip Rosidi. Dengan membaca buku ini kita bisa melihat oleh keluarga yang bagaimana sosok Ajip Rosidi tumbuh dan kemudian menjadi sosok yang kita kenal kemudian.
Sebelum menarik satu benang merah, saya ingin menyampaikan satu hal lagi. Tahun 2000, Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD/Organisation for Economic Co-operation and Development) merilis hasil survei yang kita kenal dengan sebutan PISA (The Programme for International Student Assesment). Suatu survei terhadap siswa berusia 15 tahun yang menilai sejauh mana mereka telah memperoleh pengetahuan dan keterampilan utama yang penting untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan utama tersebut diidentifikasi pada kemahiran membaca, matematika, dan sains. Di tahun itu, kita mencapai skor 371 poin. Berapa skor kita 18 tahun kemudian? 371 poin. Mungkin pada saat survei PISA di tahun 2018, mereka yang disurvei tahun 2000 sudah menjadi orang tua. Saya tidak berani berspekulasi untuk mengatakan yang disurvei tahun 2018 adalah anak-anak dari mereka yang disurvei tahun 2000. Tapi siapa tahu?
Keluarga merupakan ruang berinteraksinya dua generasi, generasi orang tua dengan generasi anak-anaknya. Di TBM Warabal kita melihat, melalui tulisan, bagaimana cinta hendak diwariskan. Kita bisa mereka-reka bagaimana seorang Ajip Rosidi mengembangkan dirinya, sebagai reaksi dari berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya. Poin-poin yang kemudian membentuk grafik dari hasil survei PISA yang dilakukan per tiga tahun, bisakah kita jadikan cerminan?
Dari mana keluarga berasal? Tentu saja dimulai ketika orang tua belum menjadi orang tua. Si ayah belum menjadi ayah. Si ibu belum menjadi ibu. Tentu saja si calon ayah merupakan hasil didikan dari keluarganya, begitu pula si calon ibu. Lalu, cinta mempersatukan mereka. Berharap bisa saling menerima kekurangan satu dengan lainnya. Apakah anak-anak mereka kelak level literasinya akan seperti yang tergambar dalam hasil survei PISA?
Sebagai kaleidoskop, tulisan ini mengacu pada momen penandatanganan kontrak kerja antara Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia dengan Duta Baca Indonesia pada tanggal 25 Januari 2023. Perpusnas sebagai pusat peradaban bangsa sudah berkomitmen meningkatkan level literasi masyarakat. Duta Baca Indonesia, Gol A Gong, tanpa lelah menyerukan: “membaca itu sehat, menulis itu hebat,” melalui Safari Literasi ke sepenjuru tanah air. Untuk itu, saya merasa tulisan ini tidak perlu lagi mengambil ruang lingkup yang terlalu luas. Dalam kapasitas saya sebagai orang tua, saya ingin menelaah momentum tersebut sebatas ruang keluarga saja.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua? Tentu saja sangat banyak. Kita bisa mempersiapkan anak-anak sebelum kelak menjadi orang tua. Mempersiapkan supaya mereka bisa menyenandungkan “ayun ambing” untuk anak-anaknya nanti. Supaya kelak mereka bisa bercerita dan menceritakan jika selain Nini Anteh, ada ragam cerita tentang manusia dan rembulan di belahan bumi lainnya. Kita bisa memberikan buaian literasi.
Apakah kita membutuhkan sekolah untuk orang tua? Menurut saya sih tidak. Kita lebih membutuhkan aktivasi ruang pendidikan di keluarga. Ruang berinteraksi yang terbuka dan menumbuhkan. Setiap anggota keluarga makin bisa mengembangkan perannya masing-masing. Setiap anggota adalah pilar dalam keluarga. Tetapi, peran tersebut tidak mereduksi kesempatan tiap individu dalam keluarga untuk bisa berkembang. Mengaktualisasilan nilai-nilai dan norma yang menjadi fondasi keluarga tersebut dalam sikap dan ucap. Pada akhirnya setiap harapan dapat terpenuhi.
Model interaksi tersebut tentu tidak bisa dibentuk dari pola komunikasi yang hanya sekadar pertukaran atau pemindahan informasi saja. Orang tua selalu tahu apa yang harus dilakukan. Anak tidak dilibatkan secara aktif. Jika demikian, bagaimana bisa tumbuh? Bagaimana bisa berkembang? Untuk bisa tumbuh, untuk bisa berkembang, semuanya harus aktif, reflektif, dan kreatif dalam berkomunikasi. Hal itu membutuhkan kemampuan literasi. Membutuhkan sebuah rencana.
Jadi, apakah kita butuh keluarga berencana? Atau apakah kita lebih membutuhkan keluarga yang memiliki perencanaan?
Aris Munandar, Founder Matahari Pagi.
Tidak ada komentar