Banyak Jalan Menuju Tanya
“He who has a why to live can bear almost any
how.”
Friedrich Nietzsche
Manusia Bertanya Sejak Dulu
Konon katanya manusia selalu bertanya-tanya sejak
dulu. Mereka bertanya karena heran atau takjub. Lalu, lahirlah filsafat.
Dalam bukunya Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan Kepunahannya (2017), Noah Yuval Harari memaparkan secara jelas mengenai revolusi ketidaktahuan. Menurut Harari, ada 2 (dua) dogma yang dimiliki manusia, sepanjang sejarah hidupnya, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Pertama, dogma pada tradisi-tradisi pengetahuan pramodern. Pada tradisi ini, jika kita memiliki pertanyaan-pertanyaan yang penting, maka kita cukup bertanya pada orang yang lebih bijaksana. Jika kita punya pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting, maka berarti pertanyaan itu tidak layak untuk ditanyakan.
Kedua, dogma saintifik. Memang sains modern tidak mempunyai dogma, jelas Harari. Tetapi, kita mengakui jika kita belum memiliki pengetahuan untuk setiap pertanyaan. Bahkan untuk pengetahuan yang sudah dianggap mapan sekalipun, masih terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan.
Penanya Sepanjang Hayat
Manusia akan bertanya-tanya sepanjang hidupnya, paling
tidak, begitulah seharusnya. Jika tidak, maka mereka akan menyandarkan
keberadaan hidupnya pada sesuatu. Harold S. Kushner ketika memberikan memberikan
pengantar untuk buku Man’s Search for Meaning (2017) menggambarkan sebuah
adegan drama yang memperlihatkan seseorang menjadi tidak ada lagi ketika sandaran
hidupnya hilang, rusak, atau hancur.
Pertanyaan-pertanyaan timbul akibat dari dorongan kuriositas seseorang. Wardah (2021) mendefinisikan kuriositas sebagai kecenderungan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan penyerapan berbagai informasi. Kearah mana kuriositas ini dapat membawa seseorang? Hal tersebut lebih ditentukan oleh self-control yang dimiliki orang tersebut.
Kapasitas untuk berubah dan beradaptasi dengan diri sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih baik secara optimal antara diri dan dunia, yang disebut sebagai self-control (Rothbaum, 2004). Self-control terdiri dari aspek-aspek, yaitu: behavior control (pengendalian perilaku), cognitive control (pengendalian kegiatan otak), dan decisional control (pengendalian keputusan).
Behavior control (pengendalian perilaku) adalah suatu tindakan langsung terhadap lingkungan, terdiri dari: komponen mengatur pelaksanaan (regulated administration) adalah kemampuan individu untuk menentukan siapa yang akan mengendalikan situasi atau keadaan dirinya atau sesuatu diluar dirinya, dan komponen memodifikasi stimulus (stimulus modifiability) adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan stimulus yang tidak dikehendaki datang.
Cognitive control (pengendalian kegiatan otak) adalah kemampuan individu untuk mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasikan, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologi untuk mengurangi tekanan. Cognitive control (pengendalian kegiatan otak) terdiri dari komponen memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (apraisal). Informasi yang dimiliki individu atas suatu kejadian yang tidak menyenangkan dapat diantisipasi dengan berbagai pertimbangan, serta individu akan melakaukan penilaian dan berusaha untuk menafsirkannya melalui segi-segi positif secara subjektif.
Decisional control (pengendalian keputusan) adalah kemampuan untuk memilih hasil yang diyakini individu dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih kemungkinan tindakan. Terdiri dari komponen mengantisipasi peristiwa dan komponen menafsirkan peristiwa, dimana individu dapat menahan dirinya.
Tingkat self-control ditentukan oleh kemahiran mengkombinasikan ketiga aspek self-control tersebut.
Dengan tingkat self-control yang cukup baik, kuriositasnya dapat menjadi penanda well-being orang tersebut. Sebaliknya, terbentuknya perilaku-perilaku yang negatif banyak disebabkan self-control yang kurang baik. Sehingga kuriositas seseorang cenderung untuk mengeksplorasi dan menyerap informasi negatif.
Kuriositas sejatinya instrumen bagi manusia untuk menemukan keberadaannya, atau menghantar pada kepunahannya. Manusia yang menyadari ketidaktahuannya, pasti akan selalu bertanya sepanjang hidupnya.
Dimensi Tanya
Karena menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri,
maka kuriositas akan berdampak pada setiap dimensi kehidupan seseorang. Baik itu
pada pekerjaannya, intelektualitas/pendidikannya, sampai pada perilaku
konsumtifnya.
Apa pentingnya memahami, menilai, meningkatkan, dan mengembangkan kuriositas karywan di perusahaan?
Apakah keberadaan kuriositas sama pentingnya dengan emosi di tempat kerja?
Apa pengaruh kuriositas terhadap efektivitas pengambilan keputusan seseorang?
Apakah kuriositas dapat menjerumuskan seseorang menjadi sangat konsumtif?
Yuk kita diskusikan di Idebumi.
Ideabumi, Ruang Tengah Rumah Matahari Pagi
Tidak ada komentar