Apa Mantramu?
Ada sebuah cerita
tentang 3 orang anak. Ketiganya sibuk mempelajari matematika. Mata
mereka fokus pada soal latihan. Dahi mereka mengerut
sesekali. Tangan mereka mulai menuliskan angka dan
simbol. Mereka berkonsentrasi untuk mengerjakan soal
latihan.
Aktivitas mereka bertiga sama. Mereka juga mengerjakan soal yang sama. Dengan peralatan yang sama pula. Jika diamati terus-menerus kegiatan mereka monoton. Mereka hanya duduk diam, karena saat mengerjakan soal latihan yang sibuk adalah otak mereka.
Perbedaan tampak saat ketiganya ditanya pertanyaan yang sama. "Kamu sedang mengerjakan apa?"
Anak pertama menjawab tanpa basa-basi dengan tatapan tanpa ekspresi berujar singkat, “Aku sedang belajar mengerjakan soal.” Memang benar begitu adanya.
Selanjutnya giliran anak kedua. Dia menjawab sambil membenarkan kacamatanya dengan mimik wajah sedikit terganggu. “Aku belajar mengerjakan soal agar bisa mendapat nilai baik dalam ujian.” Lagi-lagi juga benar begitu adanya. Anak kedua adalah pelajar yang rajin. Ia bertanggung jawab terhadap tugasnya sebagai pelajar. Ia belajar dengan giat dan rutin. Orangtua anak tersebut sangat bangga. Anak itu seringkali dipuji-puji oleh guru maupun temannya.
Sewaktu pertanyaan yang sama diajukan kepada kepada anak ketiga, Ia tampak tidak mengerti kenapa ada yang tertarik dengan pekerjaanya yang teramat sederhana. Namun saat menjawab, secercah senyum tulus mewarnai wajahnya. “Aku sedang menguji coba caraku sendiri untuk bisa menyelesaikan soal matematika ini. Aku selalu ingin mencoba sesuatu yang Aku pikirkan, agar tahu apakah cara tersebut benar atau tidak.” Sekali lagi, jawaban ini benar juga.
Ketiga anak tersebut menjawab dengan benar dalam versi masing-masing. Satu-satunya yang membedakan adalah tingkat kesadaran masing-masing saat menjawab pertanyaan tersebut. Anak pertama melihat aktivitas sebagaimana aktivitas yang dijalankan. Saat belajar mengerjakan soal, ya artinya belajar mengerjakan soal. Jika pekerjaan bergeser ke aktivitas lain, anak pertama hanya akan menyebut sebatas nama umum aktivitasnya.
Anak kedua memilih untuk melihat aktivitas belajar mengerjakan soal matematika tidak lebih dan tidak kurang sebagai upaya untuk mendapat nilai yang baik. Kesadaran akan kebutuhan diakui membuat anak kedua memilih untuk tidak melihat lebih jauh dari itu. Sekali lagi pilihan ini sama sekali tidak salah, bahkan sangat layak disebut bertanggung jawab.
Anak ketiga meilhat pekerjaan berlatih mengerjakan soal matematika lebih dari aktivitas fisik. Sama seperti anak pertama dan kedua, Ia juga memiliki kebutuhan untuk merasa bisa dan diakui, serta tanggung jawab. Tetapi kesadaran lebih tinggi memungkinkan anak ketiga meyakini kegiatannya secara lebih bermakna dan mendalam, yakni menguji coba sebuah gagasan yang memungkinkan anak tersebut menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam belajar. Lebih jauhnya, anak ketiga dapat mengaplikasikan pembelajarannya dalam kehidupan nyata.
Kesadaran ini membuat anak ketiga tidak melihat aktivitasnya sebagai belajar mengerjakan soal saja, ataupun upaya mendapat nilai terbaik. Kesadaran lebih tinggi memicu anak ketiga bisa lebih menikmati proses belajar dan mengembangkannya secara mandiri. hal tersebut membuatnya lebih bertumbuh baik secara kognitif, afektif dan psikomotornya.
Hazar Widiya Sarah
Co-founder Rumah Matahari Pagi
Tidak ada komentar