Membangun Budaya Belajar di Rumah


 


Terus belajar adalah cara untuk bisa memaknai hidup.


Agaknya kalimat di atas tepat untuk menjadi landasan kita mau terus memperbaharui diri. Bayangkan jika tiba-tiba kita berhenti untuk belajar, analoginya bisa kita buat seperti ini; jika seorang pemburu yang beralih peran menjadi petani dan peternak tetap ngotot mempertahankan toolset (alat) berburu ketika melakukan pekerjaan baru mereka, apa yang akan terjadi? Apakah tombak dan panah bisa digunakan di ladang?


Jika dipaksakan, bisa saja jawabannya jadi 'bisa'.. misal bisa untuk memburu hewan pengerat atau hama, panah bisa lah untuk mengusir burung. Tapi apakah toolset ini masih tepat? Inilah yang dimaksud dengan gagal belajar. Artinya kita enggan melepaskan mindset, skillset dan toolset lama untuk sepenuhnya berpindah ke profesi baru. Ada alat yang lebih efektif untuk mengusir hama dan burung dibanding tombak dan panah.


Ketergantungan pada mindset, skillset dan toolset lama akan mencegah kita memikirkan cara-cara baru yang lebih efisien. Coba kita perhatikan dulu ketika kita ingin menabung dan transfer itu harus melalui kasir di Bank, sehingga jumlah kasih di setiap cabang harus banyak karena menyesuaikan dengan kebutuhan, bandingkan dengan saat ini, kita bisa melakukan transaksi melalui gadget kita sendiri secara mandiri, masihkah dibutuhkan kasih yang banyak? Bertahan dan menganggap jumlah kasir Bank harus banyak itu adalah sebuah ilusi kejayaan masa lalu.


Begitupun orang tua, jika masih berpikir bahwa mendidik dan mendampingi anak itu bisa dilakukan dengan cara lama alias cara orang tua mendidik kita dahulu, hal ini pun sama dengan kasus di atas; terjebak pada ilusi kejayaan masa lalu.


Kita perlu memperbaharui pola pikir (mindset) karena hal tersebut akan mempengaruhi cara pandang terhadap diri maupun anak-anak kita dalam proses tumbuh kembangnya. Selain itu, kita harus berupaya mengembangkan model dan metode (toolset) dalam mendampingi dan melatih anak kita, agar pembelajaran mencapai hasil yang optimal. Serta memperbaharui keterampilan (skillset) agar terus terhubung dengan perkembangan zaman yang menjadi kebutuhan anak-anak kita.


Pada dasarnya, anak membutuhkan keterampilan akademis dan juga keterampilan hidup. Keterampilan akademis bukan hanya menerima banyak pengetahuan saja, namun lebih pada keterampilan dalam menggunakan pengetahuan tersebut. Sehingga dalam proses mengakuisisi pengetahuan, pembelajaran anak harus didesain sesuai secara personalize, self-paced skill, flexibel dan enable


Personalize artinya keterampilan menggali pengetahuan sesuai dengan kebutuhan dan goals masing-masing anak. Pengetahuan yang didapat anak bisa langsung teraplikasi, sehingga pengetahuan tersebut bukan hanya membantu anak dalam menyelesaikan permasalahannya, lebih dari itu anak bisa merasakan bahwa pembelajaran sangat berguna bagi kehidupannya.


Self-paced skill, hal ini mengacu kepada keterampilan dalam mengendalikan jumlah materi dan durasi yang dibutuhkan untuk mempelajari sesuatu. Sehingga anak bisa terlatih belajar secara efektif. Self-paced skill juga menantang anak untuk kreatif dalam dalam teknis belajarnya, misalnya bagaimana cara memilah dan memilih informasi secara cepat dan tepat guna. 


Pembelajaran berbasis masalah atau proyek tentunya akan menantang anak menyusun tahapan proses, mulainya dari mana, tahapan untuk mencapai goals-nya bagaimana, hingga anak bisa mengevaluasi apakah hasilnya sesuai dengan harapan ataukah tidak. Hal ini mengajarkan kepada anak bahwa belajar bukan hanya terkait konten saja, tapi merupakan sebuah sistem yang terencana. Hal tersebut juga memungkinkan anak untuk berkolaborasi dalam prosesnya, baik dengan orang tua ataupun teman sebayanya. 


Desain pembelajaran di atas memungkinkan anak belajar dari mana saja, kapan saja dan dengan banyak cara, selaras dengan prinsip (flexible dan enable). Anak pun dalam prosesnya akan banyak berinteraksi dan berkolaborasi sehingga keterampilan komunikasi anak akan terlatih dengan baik. 


Dalam proses tersebut juga nyatanya dapat melatih nilai-nilai yang keluarga usung sebagai keterampilan hidup anak. Seperti tanggung jawab moral anak seperti empati dan kepedulian sebagai modal dasar untuk kecerdasan interpersonal dan interpersonalnya. Sehingga anak bukan hanya berpikir untuk kebaikan dirinya sendiri, namun juga untuk lingkungannya.


Nah, dengan desain pembelajaran di atas, agaknya orang tua harus mau mengambil tanggung jawab lebih terkait pembelajaran anaknya, karena pembelajaran yang pengaruhnya signifikan adalah budaya pembelajaran di rumah. Penting bagi orang tua untuk mendesain nilai-nilai dalam keluarga, agar menjadi acuan dalam output yang akan dicapai. Orang tua dalam hal ini adalah nakhoda yang bertanggung jawab penuh supaya pembelajaran anaknya mencapai output yang diharapkan yaitu sesuai dengan nilai-nilai keluarga.







Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.