Catatan Akhir Tahun: Gerakan Riuh, Apa Ngaruh?
Di tahun 2000, membaca kita mendapat skor 371 poin. Dipenilaian terakhir,
tahun 2018, skor membaca kita masih 371 poin. Mengagumkan bukan? Kita berhasil
bertahan, tidak kemana-mana. Mereka yang mengikuti penilaian PISA di tahun 2000
mungkin saat ini sudah memiliki anak yang seusia dengan yang mengikuti
penilaian PISA di tahun 2018.
Padahal Gerakan Literasi kurang riuh apa? Lihat saja postingan di media sosial, tinggal sebut saja: Facebook? Twitter? Instagram? Kurang riuh apa? Sebaliknya, Suherman, seorang Analis Data Ilmiah BRIN, mengatakan di Kompas.com mengatakan jika gerakan literasi itu sudah mati. Apakah keriuhan gerakan itu sudah menjadi penanda kematian? Seperti tahun baru, apakah sudah pasti menjadi penanda lahirnya manusia baru?
Tahun Baru, Manusia Baru?
Seleksi Alam, seperti yang akan kita lihat selanjutnya, adalah kekuatan yang senantiasa siap beraksi, dan jauh lebih unggul daripada upaya lemah manusia, sebagaimana karya Alam unggul daripada karya Seni – Charles Darwin (1859), On the Origin of Species.
Evolusi sebagai perubahan pada sifat-sifat yang terwariskan secara genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya didorong oleh dua mekanisme utama, yaitu seleksi alam dan hanyutan genetik (genetic drift). Seperti spesies lain, manusia adalah hasil evolusi jutaan tahun. Sekarang kita melihat, manusia sebagai pemegang kendali (Max, 2017). Manusia telah melalui sekian seleksi alam dan hanyutan genetik yang mengharuskan beradaptasi dalam mempertahankan keberlanjutannya. Adaptasi juga menyebabkan antar organisme untuk berinteraksi, baik itu konflik maupun kooperasi.
Namun konsekuensi dari manusia, sepertihalnya organisme lain, yang tidak adaptif terhadap tantangan yang dihadapinya adalah kepunahan.
Lebih jauh, evolusi manusia akan memasuki fase yang disebut dengan istilah “perluasan besar potensi manusia”. Sebuah istilah yang digunakan oleh yang digunakan Ray Kurzweil dalam buku The Singularity Is Near. Manusia yang melampaui batas tubuhnya, yang memanfaatkan kemajuan teknologi untuk berinteraksi dengan alam.
Ketika mobil
adalah kaki kita, gawai menjadi pikiran kita, dan Google ingatan kita. Kehidupan kita sekarang
hanya sebagiannya biologis (Max, 2017). Sebagian besar seleksi alam zaman
sekarang terjadi dalam budaya dan bahasa, komputer dan pakaian. Zaman dulu,
pada masa DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), kalau muncul mutasi yang keren,
mutasi itu mungkin tersebar ke seluruh ras manusia dalam waktu seratus ribu
tahun. Sekarang, facebook bisa menjadi
alat untuk mendorong terjadinya revolusi, seperti Arab Spring. Paradoks antara pernyataan Charles Darwin mengenai keunggulan
karya alam (baca: evolusi gen) lebih unggul dibanding karya seni (baca: budaya
dan teknologi) dengan realitas sekarang dimana pendorong evolusi genetik adalah
budaya dan teknologi.
Transhumanisme bukan lagi sekedar proses evolusi secara genetik, melainkan perpaduan antara gen, budaya dan teknologi. Namun, apakah ketiganya sudah menjadi jalinan ritmis dalam hidup dan kehidupan kita?
Evolusi Kecerdasan
Cogito ergo sum adalah sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, sang filsuf ternama dari Perancis. Artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada". Maksudnya kalimat ini membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri – Wikipedia.
Kecedasan adalah komponen genetik yang dianggap semakin berharga dan merupakan yang paling ingin dimiliki oleh seluruh umat manusia. Evolusi gen telah sangat banyak memberikan sumber daya untuk otak selama ratusan ribu tahun. Namun bagi kecerdasan, tidak ada titik maksimal disana dan satu-satunya hambatan adalah diri manusia itu sendiri (Max, 2017).
Generasi alpha, merupakan generasi teraktual seperti digambarkan oleh Emha Ainun Nadjib, sebagai generasi yang IT-addict, sangat menonjol kecerdasan enterpreneurship-nya, , punya keberpihakan yang serius terhadap “kesalehan”, serta memiliki kebebasan otentik dalam kreativitas. Generasi yang seakan-akan merupakan “putra langit”, bukan anak-anak yang dibesarkan oleh tata nilai kepengasuhan di bumi. Seperti makhluk baru yang lebih genuine, seolah-olah ada pengasuh yang lain yang tidak berada di bumi.
Dalam era yang didominasi kekuasaan materialisme, kapitalisme dan industrialisme, pada puncak pencapaiannya adalah memutilasi manusia (yang tidak adaptif) dengan menyisakannya hanya sebagai “benda” saja. Kemanusiaan ditindih sampai ke garis paling nadir di telapak kaki sejarah (Nadjib, 2016). Cara pandang yang hanya pada lapis paling permukaan, yakni yang kasat mata, atau yang di seputar jangkauan indera adalah bukan hanya faktor penghambat, melainkan juga sebagai penghancur kemanusiaan itu sendiri.
Pertanyaannya, apakah teknologi akan menjerumuskan kecerdasan kita untuk mengabdi kepada kebendaan belaka ataukah kecerdasan kita mampu memandu kemajuan teknologi menuju “perluasan besar potensi manusia” seperti yang dimaksud oleh Kurzweil?
Lalu, kemanakah arah evolusi ini menuju? Akankah kita akan meninggalkan “rumah lama” kita tanpa tahu dimana “rumah baru” berada? Dan kita semua tahu jawabannya jika tidak segera menemukan arahnya, ya! Kepunahan.
Rekayasa Kecerdasan
Quo vadis adalah kalimat dalam bahasa latin yang secara harfiah berarti : “kemana engkau pergi?”. Kalimat ini adalah terjemahan latin dari petikan bagian apokrif kisah Santo Petrus – Wikipedia.
Sifat-sifat yang terwariskan secara genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya terkandung dalam DNA, sebuah molekul yang dapat menyimpan informasi genetika, termasuk didalamnya kecerdasan. Basis genetis kecerdasan sangat kompleks. Kecerdasan memiliki banyak komponen, dan bahkan setiap aspeknya—kemampuan berhitung, kesadaran spasial, penalaran analitis, belum lagi empati—jelas melibatkan banyak gen, dan semuanya dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan.
Di lain pihak, pendekatan transhumanisme yang merupakan perpaduan antara gen, budaya dan teknologi, membuka peluang kita untuk melakukan rekayasa kecerdasan. Dalam arti, kecerdasan bukan hanya sebatas permasalahan biological, melainkan juga behavioral, sehingga rekayasa kecerdasan bisa dilakukan dan memperlihatkan hasilnya tanpa harus menunggu 10 generasi kemudian seperti yang diungkapkan oleh Nick Bostrom dan Carl Shulman, dua peneliti di Future of Humanity Institute, di Oxford University, yang menyelidiki dampak sosial yang ditimbulkan oleh peningkatan kecerdasan, dalam makalah untuk Global Policy.
Sudahkah anda menjadi manusia baru di tahun baru?
Apakah kita perlu melakukan rekayasa kecerdasan dibandingkan gerakan
yang riuh tapi mati?
Aris Munandar
Founder Rumah Matahari Pagi
Tidak ada komentar