Membangun Budaya Positif
Pandemi menghadiahkan perubahan menyeluruh dan
belum terprediksi sebelumnya, perubahan terjadi dalam konteks cara pandang,
kebiasaan, perilaku, pemecahan masalah, bahkan tata nilai. Pembelajaran daring
selama pandemik membuat kebiasaan dan cara pandang murid berubah, bukan hanya
untuk pembelajaran, namun juga untuk penanganan ketertiban di sekolah.
Sebelum pandemik sekolah tempat saya bekerja
menerapkan pendekatan yang kaku terkait pelanggaran kedisiplinan yang dilakukan
murid. Misalnya ada yang kesiangan, Sekolah tempat saya bekerja masih
menerapkan sistem poin dan hukuman baik secara individu maupun klasikal.
Saat murid kembali ke sekolah pasca pandemik dan
pernah mengalami pembelajaran daring, murid lebih memahami bahwa pembelajaran
tidak melulu harus di ruang kelas, pembelajaran bisa dilakukan di mana saja,
kapan saja, bersama siapa saja, tentang objek apapun yang ada di sekitar anak.
Dari proses tersebut anak pun lebih memahami keinginan dan kebutuhannya,
sehingga mereka terbiasa melakukan kegiatan yang jelas dan logis dampaknya
terhadap diri mereka. Perubahan tersebut membuat sistem hukuman menjadi tidak
relevan lagi bagi murid.
Misalnya karena datang terlambat murid mendapat
hukuman yaitu berlatih baris berbaris di lapang serta membersihkan toilet sekolah.
Nah, untuk perlakuan tersebut, murid akan mempertanyakan mengapa mereka harus
mendapat hukuman seperti baris berbaris di lapang dan membersihkan toilet,
padahal ketika murid datang terlambat konsekuensinya adalah ketinggalan
pembelajaran, mood rusak karena terburu-buru dan dinilai tidak
bisa diandalkan oleh teman dan guru karena tidak mampu mengatur waktu.
Oleh sebab itu, pendekatan poin dan hukuman tidak
bisa dipakai lagi, sebagai gantinya saya mengusung pendekatan yang lebih ramah
anak, yaitu dialog dua arah dengan para murid dan hal tersebut sejalan dengan
konsep penerapan budaya positif di sekolah. Agar murid menjadi pribadi yang
baik maka motivasi intrinsik harus tumbuh, para murid harus menyadari dan
bertanggung jawab secara penuh atas pilihan serta tindakan yang mereka buat.
Hukuman memang jalan cepat untuk menerapkan ketertiban sekolah, namun dampak
bagi murid kurang baik karena mereka mendendam dan menyimpan amarah dalam
hatinya yang memungkinkan murid bersikap agresif.
Sebenarnya ada lima posisi kontrol yang dapat
diterapkan dalam proses pendampingan seperti yang tertuang dalam Modul 1.4 .
Budaya Positif dalam Pendidikan Calon Guru Penggerak, yaitu:
1. 1. Penghukum
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik
maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa
mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan
murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan
berkata:
“Patuhi aturan saya, atau awas!”
“Kamu selalu saja salah!”
“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.
Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik):
“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat waktu?”
Tanyakan kepada diri Anda:
Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang terlambat?
Hasil:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.
2. 2. Pembuat merasa bersalah
Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih
lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang
lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar
dengan lembut akan seperti:
“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.
Pembuat Merasa Bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh: merapat pada anak, lesu):
“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi. Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.”
Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?
Hasil:
Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
3. 3. Teman
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid,
namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada
guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang
terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik
dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid, mata dan senyum jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).
Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?
Hasil:
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.
4. 4. Pemantau
Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita
mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi.
Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan
menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita
dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan
yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.
Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal):
Guru: “Adi, tahukah kamu jam berapa kita memulai?”
Adi: “Tahu Pak!”
Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti konsekuensi yang harus dilakukan bila terlambat?”
Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan tugas ketertinggalan saya.”
Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus tinggal di kelas untuk menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Hasil:
Murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat merasa berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri.
5. 5. Manajer
Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana
guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid
mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi
atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di
posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu
tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita
menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan
bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat
menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer,
murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain.
Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat
berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang
manajer akan berkata
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah kamu meyakininya?”
“Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.
Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):
Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?”
Adi: “Tahu Pak, jam 7:00!”
Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah ini?”
Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.”
Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa hadir tepat waktu ke sekolah?”
Adi: “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”
Guru: “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.
Fokus ada pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi Pemantau, guru akan melihat apa konsekuensinya apa peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan guru.
Dari posisi kontrol di atas, penghukum dan pembuat
merasa bersalah nyatanya tidak bisa menstimulus motivasi intrinsik murid.
Sehingga tindakan kedisiplinan bukan tumbuh dari kesadaran melainkan karena
rasa takut dan rasa bersalah. Hal ini membuat tindakan disiplin bersifat
sementara.
Posisi kontrol nomor tiga sampai lima yaitu teman,
pemantau dan manajer dapat menstimulus perilaku kontrol positif dan krontrol
diri, hal tersbut juga yang akan memunculkan motovasi intrinsik murid.
Sehingga dalam menyikapi permasalahan di atas, saya
mengajak Tim Kesiswaan untuk merancang metode pendampingan yang menekankan
penumbuhan budaya positif di sekolah, hal ini tentu saja disambut hangat oleh
Kepala Sekolah karena penumbuhan budaya positif sejalan dengan kebutuhan dan
karakteristik murid. Maka pada bulan November 2022 Tim Kesiswaan melakukan
sosialisasi penerapan budaya positif di sekolah dengan menekankan pada
pendekatan sebagai teman, pemantau dan manajer dalam mendisiplinkan murid.
Dalam kegiatan sosialisasi tersebut yang menjadi latar belakang adalah
kebutuhan murid dan perubahan budaya setelah pandemic covid-19, sehingga ketika
masuk kepada teknik pendampingan guru dan tenaga kependidikan dapat menerima
dan mendukung perubahan tersebut. Begitupun sosialisasi kepada murid dan juga
orangtua, kami lakukan secara bertahap dalam kegiatan seminar dan parenting.
Dampak yang didapat oleh murid dan guru, mereka
menjadi lebih nyaman dalam pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar
kelas. Murid dan guru juga lebih bisa menghargai proses yang dialami setiap
individu.
Kendala saat ini adalah masih banyak guru yang kurang
konsisten dalam menerapkan budaya positif, sehingga untuk bisa menjalankan
program di atas, dibutuhkan guru yang memahami perkembangan murid dan tahu cara
mendampingi kebutuhan murid, sehingga sekolah harus sering memberikan pembinaan
terkait budaya positif dan penerapannya, supaya guru tetap sabar dalam
menghadapi ketidakdisiplinan murid. Budaya positif memang membutuhkan waktu dan
proses yang lama, namun yakinlah hasil baik menanti diakhir proses panjang ini.
Semangat!
Tidak ada komentar