IMAJINASI YANG MENIPU
“Saat ini kita sudah memasuki zaman imajinasi,” Wien
Muldian.
Pernyataan di atas tidaklah berlebihan. Siapa yang
membayangkan sebelumnya, seseorang yang tidak memiliki armada transportasi tapi
bisa kaya raya dari jasa transportasi. Mereka yang tidak memiliki restoran,
tetapi menguasai bisnis food and beverages. Siapa yang menyangka?
Tentu faktornya bukan hanya kemajuan Teknologi Informasi
dan Komunikasi saja. Jika faktornya hanya kemajuan TIK, maka tidak heran apabila
kita sekadar jadi negara yang paling berisik di media sosial. Bahkan Microsoft
menempatkan negara kita diurutan keempat sebagai negara paling tidak sopan
sedunia dalam bersosial media, setelah Afrika Selatan, Rusia, dan Meksiko. Mengandalkan
kemajuan TIK tidak akan membawa kita kemana-mana. Sebaliknya, malah dengan
mudah kita bisa diarahkan kemana-mana.
Akan lebih menarik jika kita mencermati pidato
kebudayaannya Merlyna Lim yang disampaikan tahun lalu, tepatnya tanggal 10
November 2021. Dalam pidato berjudul Ritme dan Algoritme Kebudayaan, Merlyna
menyampaikan mengenai desain algoritme media sosial. Algortime belajar dari
perilaku pengguna di masa lalu, kemudian memprediksi dan memengaruhi mereka di
masa depan. Bagaimana jika perilaku kita lebih suka menyimak
penggalan-penggalan teks dan/atau video di media sosial. Penggalan-penggalan
tersebut tentu sangat menarik perhatian, kita bisa mengetahui istilah-istilah
keren dalam waktu singkat. Namun, tentu saja penggalan-penggalan itu tidak bisa
menggambarkan makna dari suatu istilah secara utuh. Akibatnya, jika tidak menelaah
lebih jauh, dapat menjerumuskan kita pemahaman yang bias. Pemahaman yang bias
dapat menjebak kita untuk mengimajinasikan situasi dan kondisi secara keliru. Akan
sangat berbahaya jika kita meyakini imajinasi yang keliru, imajinasi yang
menipu.
Sejenak mari kita flashback ke tahun 2000. Saat
itu pertama kali Indonesia mengikuti The Programme for International Student
Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organization of Economic
Co-operation and Development (OECD). PISA adalah survei tiga tahunan
terhadap siswa berusia 15 tahun yang menilai sejauh mana mereka telah
memperoleh pengetahuan dan keterampilan utama yang penting untuk dapat berpartisipasi
penuh di masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan utama itu difokuskan pada
membaca, matematika, dan sains.
Kenapa kita perlu kembali ke tahun 2000? Tentu ada
sesuatu yang menarik, mari kita lihat. Dari ketiga pengetahuan dan keterampilan
utama yang dipetakan oleh OECD itu kita ambil satu, membaca. Di tahun 2000, membaca
kita mendapat skor 371 poin. Dipenilaian terakhir, tahun 2018, skor membaca
kita masih 371 poin. Mengagumkan bukan? Kita berhasil bertahan, tidak
kemana-mana. Mereka yang mengikuti penilaian PISA di tahun 2000 mungkin saat
ini sudah memiliki anak yang seusia dengan yang mengikuti penilaian PISA di
tahun 2018.
Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Kemdikbud
menyampaikan analisanya. Fakta pertama yang mereka sajikan: di tahun 2000, anak
Indonesia usia 15 tahun yang bersekolah sebanyak 39%; di tahun 2018, meningkat
menjadi 85%. Mereka menyimpulkan jika Kemdikbud berhasil memperluas akses Pendidikan
untuk anak Indonesia usia 15 tahun. Berikutnya, mereka akan meningkatkan
kualitas. Benarkah?
Sebelumnya, mari kita lihat penyebab kenapa kemampuan
membaca anak-anak kita itu cenderung stagnan. Salah satu penyebabnya: tidak
efektifnya penerapan strategi dalam pembelajaran membaca. Tapi itu kan empat
tahun lalu, mungkin sekarang kondisinya sudah berubah. Mari kita lihat. Secara gamblang
Mas Menteri Nadiem Makarim menyampaikan hasil Asesmen Kemampuan Minimum (AKM)
yang dilakukan pada tahun 2021 lalu, 1 dari 2 siswa belum mencapai kemampuan
minimum literasi. Artinya apa? Siswa kita kesulitan untuk memahami,
menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks untuk
menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individunya. Artinya apa? Mereka
sebagai warga Indonesia dan warga dunia akan kesulitan untuk dapat
berkontribusi secara produktif di masyarakat. Lalu apa?
Akhirnya harus diakui jika ada masalah dalam kompetensi
membaca kita. Kelemahan dalam menyimak ditambah dengan kebiasaan mengakses
informasi yang serba instan merupakan paduan sempurna untuk membawa kita pada
perangkap imajinasi yang menipu. Rhenald Kasli dalam salah satu konten youtubenya
mengumpulkan 10 istilah yang sering dimaknai secara bias. Dia menyebutnya
sebagai 10 toxic word yang meracuni kaum muda. Lalu apa?
Matahari Pagi 2023 Project mengangkat tema Toxic Word
X Me, dengan menjadikan 10 toxic word tadi sebagai subtemanya. Seperti apa
projectnya? Tunggu informasinya mulai tanggal 1 Desember 2022.
Tidak ada komentar